Moratorium Pembangunan Pariwisata


LAGI-lagi nampaknya harus mengibaratkan Bali sebagai gula. Risikonya, tentu saja banyak semut yang merubung. Manakala gula habis dibawa semut, nah yang punya gula bagaimana? Gigit jari, pasrah, mempertahankan gulanya atau ada tindakan yang lain?

Dulu, memang ada lontaran pemikiran agar pembangunan sektor pariwisata direm sedikit. Ada semacam moratoriumlah sehingga derunya tidak lagi begitu keras serta kencang sehingga mengundang orang-orang di seberang untuk datang. Sekadar mencari tahu, melihat-lihat atau justru lebih menggerakkan dan menderukan mesin itu. Nah, yang terjadi memang kombinasi seluruhnya dan sangat kompleks.

Salah satunya adalah soal penyediaan perumahan bagi penduduk Bali yang semakin membengkak akibat laju migrasi yang cepat karena proses pembangunan di Bali yang juga begitu cepatnya. Ada juga pemikiran, lanjutan dari pemikiran pertama, proyek tersebut dialihkan ke daerah lain agar pendatang tidak hanya menyerbu Bali. Pengusaha dari luar dan bahkan dari Bali sendiri diharapkan melebarkan sayap usahanya ke luar Bali. Tidak usah terlalu jauh-jauh. Kalau menuju barat, cukup sampai di Banyuwangi saja. Kalau ingin ke timur, sampai Lombok barat sudah oke.

Namun rupanya tak satu pun menggubris imbauan ini. Karena tidak saja tak punya kekuatan hukum, namun juga dipandang dari sisi ekonomi tidak menguntungkan dan tidak strategis serta membuat ekonomi biaya tinggi. Lagipula, ini yang terpenting, kesempatan berusaha di Bali masih sangat menjanjikan. Logikanya, mengapa harus pergi ke daerah lain, susah-susah amat?

Kembali ke pokok inti masalah, yakni perumahan. Kalau sebagian orang memandang kebutuhan ini masih masuk ke kolom tersier, namun sebagian lagi sudah menggolongkannya ke sekunder dan bahkan primer. Kita lihat fakta sekarang. Begitu banyak rumah yang dibangun pengembang di perkotaan, bahkan pinggiran kota pun sudah mulai dirambah. Sedangkan di perkotaan, sudah lebih dulu menjamur. Juga termasuk rumah sewa, apakah itu kos-kosan, apartemen dan sebagainya.

Ini artinya apa? Pertambahan penduduk memerlukan fasilitas itu. Pemerintah tidak lantas hanya meikirkan keuntungan dengan membuat Perda kos-kosan atau bagaimana cara lain untuk mencari duit. Sebenarnya, tidak sebatas itu. Ketika intensitas penduduk semakin sesak, maka efek yang ditimbulkannya bermacam-macam. Bisa sosial, psikolosi maupun keamanan. Nah yang terakhir ini harus diperhatikan lebih seksama karena industri pariwisata yang kita kembangkan di Bali sangat rawan dengan isu-isu keamanan.

Ide pemerintah untuk membangun semacam perumahan rakyat, boleh jadi sebuah ide yang bagus. Kita pun tidak bisa menyalahkan pengembang membebaskan lahan dan membangun di mana-mana. Yang kita sesalkan di antaranya, mengapa kemudian sawah-sawah yang begitu subur, irigasi teknis yang begitu tertata apik kemudian harus berganti rupa dengan wajah perumahan?

Laju pertambahan penduduk terutama akibat migrasi tidak terbantahkan dan harus dicegah. Kita pun tidak bisa melarang orang luar untuk datang ke Bali karena kita masih terikat dalam NKRI. Satu-satunya jalan, memang kembali kepada moratorium dengan segala kebesaran hati dalam melihat Bali puluhan tahun ke depan. Bukan hanya melihat keuntungan semata-mata dalam jangka waktu pendek. Bali ini kecil. Tidak mungkin wilayahnya sebagaian besar dijadikan perumahan serta sarana infrastruktur lainnya. Tidak mungkin.

Namun celakanya, apa yang tidak mungkin itu sangat menjadi mungkin manakala ada oknum pejabat yang suka menginjak-nginjak peraturan, berkolusi dengan oknum pengusaha sehingga yang menjadi korban adalah Bali. Tentu kita tidak mau kondisi ini terjadi.

sumber : Balipost

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
Powered by Blogger